Minggu, 19 Januari 2014

Menunggu Kepastian Bitcoin di Indonesia

Nama Bitcoin sedang banyak diperbincangkan di seantero dunia. Penggunaan mata uang cryptocurrency ini telah menyebar luas, sementara kesahihannya sebagai alat pembayaran masih banyak dipertanyakan dan menuai kontroversi.

Tak terkecuali di Indonesia, di mana perkembangan Bitcoin terganjal dua persoalan, yaitu kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai mata uang digital ini, dan belum adanya peraturan resmi yang meregulasi transaksi Bitcoin.


Dua hal tersebut menjadi topik hangat diskusi dalam pertemuan komunitas Bitcoin pertama di Indonesia yang dimotori oleh Indonesian Bitcoin Community (IBC) di Jakarta, Sabtu (18/1/2013).

Aditya Suseno dari IBC mengatakan bahwa belum adanya pengakuan Bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia berpotensi menimbulkan masalah hukum terkait dengan transaksi yang dilakukan.

"Legalitas transaksi bisa dipertanyakan ketika dilakukan dengan menggunakan Bitcoin. Misalnya saya menjual handphone ke Anda, sementara Anda membayar dengan Bitcoin, saya bisa saja mengklaim bahwa pembayaran belum dilakukan karena memang tidak menggunakan alat pembayaran yang diakui," jelas Aditya.

Adanya peraturan dan pengakuan yang jelas atas Bitcoin, lanjut Aditya, akan memperluas penggunaan mata uang ini dengan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Bitcoin.

Dia menyebutkan bahwa di Indonesia penggunaan Bitcoin masih belum memasyarakat dan relatif terhambat dengan absennya regulasi yang mengatur mata uang virtual tersebut secara eksplisit. Padahal, Bitcoin disebutnya memiliki sejumlah kelebihan yang mempermudah transaksi digital dibanding mata uang konvensional, misalnya berupa kebebasan dari biaya transfer dan kecepatan transaksi.

Bersama dengan Artabit, perusahaan rintisan yang bergerak di bidang layanan finansial menggunakan Bitcoin, Aditya pernah melayangkan surat terbuka ke Bank Indonesia, berisi uraian tentang manfaat Bitcoin yang tak terpengaruh manipulasi moneter oleh negara adidaya.

Bank Indonesia sendiri telah melakukan kajian atas pemakaian Bitcoin untuk bertransaksi, namun hingga saat ini masih belum ada laporan resmi tentang penggunaannya ke BI.

Terkait dengan persoalan transaksi, Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Sistem Pembayaran Ronald Waas Kamis (16/1/2014) lalu mengutip Undang-undang Nomer 7 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa semua transaksi di NKRI harus menggunakan mata uang rupiah.

Ronald mengungkapkan bahwa BI telah berkoordinasi dengan Kemenkominfo untuk membahas Bitcoin. Namun, karena sifat Bitcoin yang masuk ranah teknologi, Ronald mengatakan bahwa wewenang berada di tangan Kemenkominfo.

Naik turun tajam

Pertama kali diperkenalkan oleh peneliti (atau kelompok peneliti) dengan alias "Satoshi Nakamoto", Bitcoin dikembangkan sebagai mata uang digital untuk transaksi peer-to-peer. Pengelolaan Bitcoin dilakukan secara terdesentralisasi tanpa otoritas pusat. Bitcoin tak memiliki nilai intrinsik dan tidak dijamin oleh pemerintah atau institusi keuangan manapun.

Hal ini berbeda dengan mata uang konvensional, yang peredarannya ditentukan oleh otoritas, yaitu bank sentral yang bertugas menjalankan kebijakan moneter dengan cara mengatur pasokan uang yang beredar.

Bitcoin semata-mata menjadi bernilai karena dipakai oleh banyak orang. Nilai mata uang ini bergantung pada penerimaan di komunitasnya, serta besarnya angka permintaan dan jumlah pasokan yang tersedia.

Salah satu konsekuensi dari sifatnya tersebut adalah fluktuasi nilai Bitcoin yang ekstrim. Pada awal Januari 2013, misalnya, Bitcoin dihargai 13 dollar AS per keping (1 BTC). Angka itu meroket ke lebih dari 1.100 dollar AS per BTC pada Desember tahun yang sama, lalu terpangkas menjadi hanya setengahnya (sekitar 500 dollar AS), hanya dalam beberapa jam setelah pelarangan transaksi Bitcoin di China.

NIlai Bitcoin kembali naik menjadi lebih dari 1.000 dollar AS pada 7 Desember, menyusul pengumuman developer game online Zynga bahwa pihaknya sedang menguji sistem transaksi Bitcoin. Per 18 Januari 2014, nilai Bitcoin berada pada kisaran 800 dollar AS.

Volatilitas tersebut memang menjadi momok bagi Bitcoin dan menyebabkan otoritas keuangan di sejumlah negara mengambil sikap hati-hati. Selain China, India juga telah menghentikan perdagangan Bitcoin di sejumlah bursa dalam negeri. Angka permintaan Bitcoin di dua negara itu disinyalir kebanyakan berasal dari spekulan yang ingin meraih untung dengan cepat.

Di kawasan Asia Tenggara, Malaysia tak mengakui Bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah, demikian pula dengan Thailand. Tetapi Singapura bersikap lebih terbuka dengan membolehkan transaksi Bitcoin, asalkan pihak-pihak yang terlibat membayar pajak ketika "Bitcoin ditukarkan ke mata uang, produk, atau jasa sungguhan".

Bitcoin diakui di Jerman sebagai "mata uang swasta", sementara penggunaanya di Amerika Serikat dan Kanada telah mulai meluas di kalangan bisnis dan perbankan. Namun, secara umum, sikap negara-negara di dunia terhadap Bitcoin masih terbelah. Nah, bagaimana dengan Indonesia?

Sumber : http://tekno.kompas.com/read/2014/01/19/1157474/Menunggu.Kepastian.Bitcoin.di.Indonesia
Editor: Wicak Hidayat


Terima Kasih Atas Kunjungannya, Semoga Bermanfaat...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Artikel Lainnya