Pabrikan-pabrikan televisi berlomba-lomba memamerkan teknologi dan inovasi mereka di ajang CES 2014. Banyak dari mereka yang memajang televisi dengan ukuran raksasa, teknologi layar cekung, atau display dengan resolusi 4 kali Full HD, atau yang disebut dengan 4K. Namun apakah semua teknologi itu bisa diterima?
Inovasi di segmen konsumer elektronik, khususnya televisi, berkembang sangat pesat. Dimulai semenjak diperkenalkannya beragam materi yang digunakan sebagai layar, seperti LCD, LED, plasma, dan OLED. Pengamat teknologi, Farhad Manjoo menulis di The Wall Street Journal, Rabu (8/1/2014) bahwa teknologi televisi sudah menemui jalan buntu.
Kembali ke sekitar tahun 2010 dimana saat itu pabrikan-pabrikan TV banyak yang memperkenalkan teknologi 3D. Teknologi tersebut gagal karena masih dianggap aneh, konsumen harus menggunakan kacamata 3D yang masih kurang nyaman digunakan, sering membuat pusing, dan kurang menarik karena konten 3D sangat terbatas.
Gagalnya teknologi 3D tidak lantas membuat pabrikan TV kapok berinovasi. Kini mereka kembali menghadirkan lompatan teknologi yang jauh, namun pasar belum siap menerimanya, seperti TV dengan resolusi 4K.
Hal tersebut membuat kita bertanya-tanya, sebenarnya sebesar apa layar TV yang kita butuhkan di ruang keluarga? Resolusi berapa yang kita butuhkan jika hanya ingin menonton dari jarak dekat. Manjoo merasa bahwa resolusi Full HD saat ini sudah cukup dinikmati di ruang keluarga.
Inovasi TV sudah tidak bisa dikembangkan lagi, sudah tidak ada ide baru untuk ditanamkan dalam hardware TV yang layak ditebus dengan uang kita saat ini.
Bahkan karena cepatnya inovasi yang diperkenalkan, TV-TV biasa yang tanpa embel-embel teknologi apa pun malah semakin murah, selain faktor kompetisi dan efisiensi produksi. Semakin murah TV dengan kemampuan standar tersebut, semakin frustrasi para pabrikan pembuat TV, dan menambahkan fitur-fitur lain yang belum tentu diperlukan.
TV sekarang sudah sempurna, karena itu inovasi apa pun yang diperkenalkan belum tentu berhasil. Selain itu, faktor konten televisi juga turut berpengaruh. Pengguna masih harus mengoperasikan remote lebih dari satu untuk mengakses beragam konten atau menavigasi sistem dengan menu yang berlapis-lapis.
Dari segi konten, konsumen masih sulit menemukan video dengan resolusi 4K. Bisa jadi apa yang terjadi pada teknologi TV 3D akan terulang untuk layar 4K.
Seperti buah simalakama, industri hiburan berpikiran jika belum banyak konsumen yang mengadopsi TV 4K, maka kontennya juga tidak akan banyak diproduksi. Sementara di sisi konsumen, jika belum ada konten 4K yang cukup banyak, mereka juga enggan membeli TV 4K.
Pabrikan TV saat ini juga belum bisa menyatukan semua perangkat yang terhubung dengan TV memiliki satu antarmuka yang ramah dan nyaman digunakan. Di samping itu, belum ada yang bekerja sama dengan perusahaan penyedia konten yang bisa menyediakan konsumen konten yang lengkap.
Konsumen saat ini harus berlangganan banyak layanan TV kabel agar bisa menonton semua program favorit yang mereka inginkan. Tentunya hal tersebut membuat mereka harus mengeluarkan biaya ekstra tiap bulannya untuk membayar tagihan.
Bahkan untuk langganan streaming pun, konsumen harus memiliki setidaknya kecepatan Internet 15 Mbps agar berjalan dengan lancar. Kecepatan tersebut seperti dua kali kecepatan broadband Internet tercepat yang dimiliki penduduk Amerika Serikat saat ini.
Jadi kesimpulannya, konsumen saat ini hanya butuh untuk menunggu dan bersabar. Jangan terburu-buru membeli TV 4K. Manjoo berpendapat bahwa jika teknologi 4K benar-benar berhasil dan banyak yang mengadopsi, maka harga jualnya pasti akan turun beberapa tahun ke depan.
Jadi bersabarlah.
Sumber : http://tekno.kompas.com/read/2014/01/10/1703240/Beli.TV.4K.Sekarang.Untuk.Apa.
Sumber 2: The Wall Street Journal
Editor: Reza Wahyudi